Rabu, 13 April 2011




Kotbah Minggu Pra Paskah 6 (Palmarum),

Minggu, 17 April 2011











Bacaan I: Yesaya 50: 4-9a; Antar Bacaan: Mazmur 31: 10-17

Bacaan II: Filipi 2: 5-11; Bacaan III: Matius 21: 1-11



Tujuan

Agar jemaat baik sebagai individu maupun persekutuan dimampukan untuk mempunyai hati seorang hamba demi terwujudkan shalom di bumi ini.


Dasar Pemikiran

Di tengah arus dunia yang serba kompleks ini, kita diperhadapkan pada perbedaan pendapat, persaingan, ketidakharmonisan, bahkan kekerasan di mana-mana baik kekerasan fisik maupun psikis (melalui kata-kata dan sikap). Yang ironis adalah bahwa hal ini tidak hanya terjadi di luar gereja tetapi bahkan juga di dalam gereja. Semua ini dipertajam oleh kecenderungan manusia yang mengkotak-kotakkan diri dalam sekat-sekat golongan, status, pangkat, kehormatan dan kepentingan. Persoalan-persoalan kecil yang bisa diselesaikan dengan mudah kadang malah menjadi persoalan besar karena masing-masing mempertahankan bahkan menonjolkan kehormatan dan kepentingannya sendiri dan menganggap yang lain lebih rendah. Di tengah situasi yang semacam diperlukan manusia-manusia yang mempunyai hati seorang hamba.



TAFSIR

Yesaya 50:4-9a

Bagian ayat-ayat ini merupakan syair yang termasuk dalam rentetan "Nyanyian-nyanyian Hamba Tuhan" (40:1-9; 49:1-6; 50:4-11 dan 52:13-53:12). Meskipun di sini tidak disebutkan istilah "Hamba Tuhan" tetapi istilah "Murid" adalah sama dengan "Hamba Tuhan". Bentuk syair ini adalah doa keluhan perorangan yang memuat tiga unsur yaitu (1) keadaan pendoa di depan Allah (ay. 4-5a), (2) penderitaannya (ay. 5b-6), dan kepercayaannya kepada Allah yang akan membebaskan dia (ay. 7-9). Berbeda dengan syair-syair keluhan dalam Mazmur, syair ini tidak memuat teriakan minta tolong.

Ayat 4 menunjukkan bahwa Hamba Tuhan itu kini dididik menjadi murid Tuhan. Arti kata "murid" (bhs. Ibrani: "limudin", berasal dari kata kerja "lamad" yang mempunyai arti belajar, membiasakan) tidak menekankan belajar secara intelektual tetapi lebih pada belajar melatih sikap dan kecakapannya. Kemampuannya menjadi murid ini datang dari Tuhan dan Tuhan memberinya lidah seorang murid yang memampukannya untuk memberi semangat kepada orang yang letih lesu. Sikap murid yang seperti ini disatu sisi mendatangkan kebaikan bagi sekelompok orang tapi di sisi lain mendatangkan sikap perlawanan dari kelompok lain. Ayat 5b-6 menggambarkan bagaimana Hamba Tuhan itu menghadapi perlawanan itu. Ia rela, tabah dan setia menanggung penderitaan yang muncul dari perlawanan itu (dihukum, dihina, dipermalukan) dan sikapnya itu diambil secara sadar olehnya karena ia percaya bahwa Tuhan akan menolongnya. Ia yakin bahwa Tuhan Sang Maha Adil akan membenarkan dia yang telah berjalan sesuai FirmanNya.


Mazmur 31: 10-17

Bagian ini menggambarkan keadaan Pemazmur yang sangat menyedihkan dan teriakannya meminta pertolongan Tuhan. Ia merasa sedih, merana, sangat lemah dan merasa disingkirkan oleh orang-orang di sekitarnya karena penderitaan yang dialaminya. Tapi ia percaya kepada Tuhan, menyerahkan hidupnya kepada Tuhan dan memohon pertolongan dan keselamatan yang dari Tuhan.


Filipi 2: 5-11

Rasul Paulus menasihatkan kepada jemaat di Filipi agar mereka merendahkan diri dan saling melayani karena untuk tugas itulah Kristus telah memilih dan mengumpulkan mereka sebagai jemaatNya. Pelayanan itu harus mereka lakukan menurut pola yang Kristus telah berikan kepada mereka, yaitu pola hidup sebagai hamba, sebagai pelayan. Kristus yang walaupun dalam rupa Allah, bahkan Ia adalah Allah sendiri, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan. Ia telah mengosongkan diriNya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Kristus dengan sadar rela kehilangan kebesaran dan kemuliaanNya sebagai Allah. Tidak hanya sampai di situ saja, Ia bahkan merendahkan diriNya dan taat sampai mati di kayu salib.

Pengajaran Rasul Paulus ini hendak menegur praktik dalam jemaat di Filipi yang membeda-bedakan manusia menurut golongan, tingkat kehormatan, tingkat hak dan kepentingan masing-masing individu. Dengan pernyataan dalam ayat 9-11, Paulus hendak mengatakan bahwa justru dengan sikap yang diambil Yesus itu, Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepadaNya nama diatas segala nama.


Matius 21: 1-11

Peristiwa yang disebutkan dalam perikop ini terjadi pada waktu orang-orang Yahudi berarakan menuju ke Yerusalem untuk merayakan pesta Paskah Perjanjian Lama yaitu pesta peringatan akan pembebasan bangsa Israel dari Mesir. Dalam peziarahan dari Yerikho ke Yerusalem yang memakan waktu sekurang-kurangnya tujuh jam itu muncullah percakapan-percakapan tentang siapakah Yesus. Mereka mempercakapkan apakah Yesus adalah Mesias yang dijanjikan oleh Allah untuk membebaskan bangsa Israel dari penjajahan bangsa Romawi ataukah yang lainnya. Pengharapan bahwa Yesus adalah pahlawan yang akan berperang dengan senjata kemenangan untuk mengalahkan bangsa Romawi menjadi begitu kuat dalam arakan peziarahan itu karena mereka pada saat itu juga sedang mengenang peristiwa pembebasan bangsa Israel dari Mesir.

Di tengah-tengah situasi yang semacam itu, Yesus yang tidak biasanya bertindak „demonstratif", saat ini ia melakukannya. Ia mengendarai seekor keledai muda dan diarak oleh para murid dan orang banyak pada saat itu. Dengan tindakanNya ini Yesus hendak menunjukkan bahwa Ia adalah Mesias, yang datang dengan lemah lembut dan dengan mengendarai seekor keledai, bukan dengan mengendarai kuda, yang selalu dipakai dalam perang. Yesus tidak datang dengan kekuatan senjata melainkan dengan tindakan kasih. Ia menyatakan kepada banyak orang bahwa Ia adalah Raja Israel, Raja Damai yang memberitakan damai kepada bangsa-bangsa (Za. 9:9,10).

Dengan tindakanNya yang berani ini, Yesus hendak menentang para pemimpin Israel yang tidak mengakuiNya sebagai Mesias. Ia juga berani menentang orang-orang Israel yang ingin agar Ia membasmi orang Romawi.



Kotbah Jangkep


Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,

Dalam kehidupan bersama dimanapun kita berada, juga dalam kehidupan berjemaat, seringkali muncul perbedaan pendapat, ketidakharmonisan, konflik bahkan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikis. Ini semua terjadi karena perbedaan pendapat, perbedaan harapan, persaingan dan ketidakcocokan dalam hal-hal kecil yang tidak diselesaikan dengan baik. Orang kadang mempunyai kecenderungan untuk menyimpan dan seakan mengabaikan persoalan yang ada, padahal hal itu bisa menjadi api dalam sekam. Atau, kadang ada orang-orang yang menyelesaikan dengan cara main kuasa atau dengan kekerasan (psikis atau fisik). Orang merasa bahwa ia mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain, atau lebih tua dari yang lain atau lebih kaya dari yang lain atau lebih berpengalaman dari yang lain. Akibatnya maka seringkali terjadi bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi bahkan justru menjadi lebih buruk.

Kita dapat melihat gejala yang demikian itu dalam kehidupan kita sehari-hari, misalnya dalam kehidupan rumah tangga, di kantor, di kampung atau di dalam gereja. Orang tua seringkali menempatkan diri lebih tinggi dari anak-anak, suami atau istri menempatkan lebih tinggi dari pasangannya, majelis menempatkan diri lebih tinggi dari warga jemaatnya atau dari remaja pemuda, atau pemuda senior menempatkan diri lebih tinggi dari yuniornya, dll.


Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,

saat ini kita diingatkan akan apa yang harus kita lakukan dalam hidup ini demi terwujudnya shalom, damai sejahtera di bumi. Siapapun kita, apapun kedudukan, status, jabatan dan pendidikan kita, kita dipanggil untuk mempunyai hati seorang hamba karena hal itulah yang dikehendaki oleh Tuhan kita.

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah, hati seorang hamba yang bagaimanakah yang harus kita punyai? Dan mengapa harus demikian? Bagaimanakah caranya agar kita bisa tetap memiliki hati seorang hamba?


Saudara-saudara,

Tuhan Yesus telah memberikan teladan tentang hati seorang hamba. Filipi 2:5-11 menyebutkan bahwa seorang hamba adalah seorang yang mau merendahkan diri, mau melayani, lebih suka memberi daripada menuntut. Kata "merendahkan diri" di sini tidak berarti membuat diri menjadi minder (rendah diri) melainkan memposisikan diri dalam posisi yang lebih rendah dalam rangka menjadi sama posisinya dengan sesamanya, dan tidak merasa lebih tinggi atau terhormat dari yang lainnya.

Kita sebagai anak-anak Tuhan kadang melupakan teladan Tuhan Yesus ini. Kadangkala kita membiarkan diri menyerupai dunia ini. Kalau dunia melanggengkan adanya perbedaan posisi/kedudukan, status, pendidikan, kehormatan bahkan kepentingan, seringkali gereja juga mempraktekkan hal yang sama. Sehingga tak pelak, situasi kehidupan berjemaat juga tidak berbeda dengan situasi di luar gereja. Persoalan-persoalan yang kadangkala sepele menjadi rumit karena orang melihat orang lain lebih rendah dari dirinya sehingga apapun yang disampaikan oleh orang lain selalu dianggap tidak bermutu, bahkan kadangkala tidak di dengar baik-baik karena sudah apriori terhadap orang yang sedang berbicara. Padahal siapapun orangnya, apapun keberadaannya, apapun pendidikan dan pangkatnya bisa pada suatu saat berkata benar dan baik, tapi di saat yang lain, bisa sebaliknya. Oleh karena itu dibutuhkan untuk saling merendah dalam rangka mendengar dan menghargai satu terhadap yang lainnya.

Hal ini menjadi sangat penting ketika manusia menghadapi perbedaan pendapat, harapan yang tak terpenuhi oleh orang lain, ketidakharmonisan, bahkan percekcokan yang besar. Ketika manusia menempatkan diri lebih tinggi dari orang lain, maka hal itu akan memperburuk keadaan. Persoalan yang sebetulnya bisa dipecahkan dengan jalan mencari jalan keluar bersama-sama, bisa menjadi pemaksaan kehendak dari seseorang kepada yang lainnya. Bahkan bisa jadi hal itu memungkinkan munculnya kekerasan psikis (melalui kata-kata kasar, kata-kata yang merendahkan orang lain, bahkan caci maki), atau kekerasan fisik.

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,

Siapapun kita, entah itu yang merasa tua, atau banyak pengalaman, atau sebagai ibu atau ayah, atau sebagai suami atau istri, dll., marilah kita meneladan apa yang dilakukan Tuhan Yesus ini. Terutama orang tua yang mempunyai anak-anak remaja dan pemuda, mari buanglah sikap angkuh dan mau selalu mengatur apa saja yang dilakukan oleh anak-anak kita. Mereka telah berproses dan menjadi manusia dewasa. Sudah selayaknya kalau sebagai orang tua merendahkan diri kita untuk menjadi sesama, menjadi teman bagi anak-anak kita.

Kepemimpinan gerejawi juga seharusnya diwarnai hati seorang hamba. Yang mau menempatkan diri sama bagi yang lain, mau mendengar aspirasi dan kerinduan dari yang lain, dari remaja pemuda bahkan dari anak-anak sekalipun. Kepemimpinan yang mempunyai telinga, yang tidak hanya menengadahkan telinganya ke atas tetapi juga ke samping dan ke bawah. Dengan kepemimpinan yang berhati hamba maka gereja akan dapat membenahi diri karena ia mau mendengar dan mempertimbangkan apa yang disuarakan oleh warga jemaat. Tentu semua ini dilakukan dalam dialog dengan Dia Sang Raja Gereja. Yang terpenting dalam hal ini adalah kerelaan untuk merendahkan diri. Siapapun kita, entah yang punya gaji lebih besar, atau lebih pandai dan berpengalaman, marilah kita mau melihat, menghargai dan menerima apa yang disampaikan oleh orang lain.


Kemudian kalau ditanya: Mengapa kita harus mempunyai hati seorang hamba?

Jawabnya adalah karena hal itulah yang dikehendaki oleh Tuhan. Tuhan Yesus sendiri memproklamirkan diri sebagai Mesias yang rendah hati, yang anti kekerasan, yang memberitakan damai kepada bangsa-bangsa. Ia tahu bahwa orang Israel, yang waktu itu bersama-sama dengan Dia dalam perarakan menuju ke Yerusalem untuk merayakan Paskah Perjanjian Lama (yaitu perayaan pembebasan bangsa Israel dari Mesir), mempercakapkan tentang siapakah Dia, apakah Dia adalah Penyelamat, Mesias yang dijanjikan Tuhan yang dengan gagah perkasa mampu membebaskan bangsa Israel dari penjajahan Romawi. Mereka yang di hari-hari sebelumnya telah melihat dan mengalami perbuatan-perbuatan Yesus yang luar biasa, dimana Yesus menyembuhkan orang sakit dan melakukan mukjijat-mukjijat yang luar biasa, sangat berharap bahwa Yesus juga akan melakukan mukjizat dan perbuatan yang luar biasa untuk mengalahkan bangsa Romawi. Harapan akan datangnya Mesias, Raja Israel yang penuh kemenangan itu semakin mengental dalam perarakan itu karena orang-orang pada saat itu sedang mengenang peristiwa pembebasan bangsa mereka dari penjajahan bangsa Mesir. Oleh karena itu mereka pada saat itu menyambut Yesus sebagai seorang Raja yang agung dengan cara menghamparkan pakaian mereka di jalan yang dilalui Yesus dan menghiasi jalan itu dengan ranting-ranting dari pohon-pohon. Mereka pada saat itu sangat antusias sekali dan berseru: „Hosana bagi Anak Daud! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan! Hosana di tempat yang mahatinggi! (ay. 9). Suatu seruan yang menunjukkan harapan dan keyakinan yang besar akan datangnya Sang Pembebas!

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,

Dalam situasi yang semacam itu, Yesus berani tampil beda. Ia berani menunjukkan bahwa Ia datang bukan sebagai Mesias yang berperang dengan senjata untuk melawan bangsa Romawi, tetapi sebagai Mesias yang membawa perdamaian, Mesias yang rendah hati. Hal ini Ia tunjukkan dengan mengendarai seekor keledai muda, bukan dengan mengendarai kuda yang selalu dipakai dalam perang. Ia ingin menunjukkan bahwa Ia datang bukan dengan kekuatan senjata melainkan dengan tindakan kasih.

Saudara,

dunia tidak membutuhkan keangkuhan karena sudah banyak keangkuhan di dunia ini. Dunia membutuhkan kerendahan hati seorang hamba seperti yang ditunjukkan oleh Yesus, seorang hamba yang mendatangkan damai, hamba yang berani dan mampu menunjukkan identitasnya di tengah dunia yang berbeda dengan dirinya. Dunia membutuhkan damai itu. Shalom, damai sejahtera, keharmonisan bisa dicapai kalau manusia mempunyai kerendahan hati. Ketinggian hati, apalagi kekerasan, hanya memperkeruh suasana, dan mengkikis damai yang ada.


Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,

kadang mudah untuk mempunyai hati seorang hamba, tetapi kadang juga atau bahkan seringkali tidak mudah bahkan teramat sulit untuk setia mempertahankan hati sebagai hamba ini. Hal ini menjadi sulit ketika orang menghadapi tantangan, hambatan, tekanan, ejekan dan bahkan direndahkan atau dipermalukan, seperti yang dialami oleh Hamba Tuhan di Yesaya 50 dan Mazmur 31. Tetapi kalau kita setia dan bertekun untuk memelihara hati seorang hamba maka hal itu akan membuahkan berkat baik bagi diri kita dengan bertambahnya hikmat kita maupun bagi orang lain. Selain itu Rasul Paulus juga menyaksikan bahwa akan ada saatnya bahwa Tuhan akan meninggikan manusia kalau manusia setia menjalani hidup sebagai hamba. Manusia boleh dan bisa merendahkan orang lain, tapi Tuhan Sang Keadilan tahu semuanya dan akan meninggikan hamba-hambaNya yang setia dan bertekun pada saatnya. Firman Tuhan dalam Filipi 2: 8-9 mengatakan: "Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Selanjutnya dikatakan: "Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepadaNya nama di atas segala nama."

Saudara,

berkaitan dengan hal ini, kita diingatkan akan pepatah Jawa yang mengatakan "Becik ketitik ala ketara" yang artinya "yang baik akan muncul ke permukaan, sedangkan yang buruk akan kelihatan". Apapun tantangan yang kita hadapi dalam menjalani panggilan untuk mempunyai hati seorang hamba, betapapun tantangan itu besar bahkan seakan menutupi kebaikan yang kita lakukan, tapi kita yakin bahwa kebenaran akan menang, kebusukan akan tercium, dan apa yang baik akan mendapatkan tempatnya yang tepat.


Lalu yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: Bagaimanakah caranya agar dapat tetap memiliki hati seorang hamba?

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan, setiap kita, siapapun kita, adalah Hamba Tuhan. Hamba yang diutus untuk melakukan pekerjaan Tuhan, menyampaikan kabar baik, kabar sukacita dan damai sejahtera dimanapun kita berada. Lalu bagaimanakah caranya agar kita dapat tetap memiliki hati seorang hamba?

Yesaya 50:4-9a mengajak kita untuk menyadari bahwa kita adalah Hamba Tuhan yang sekaligus "murid". Istilah "murid", yang bahasa Ibraninya "limudin", berasal dari kata kerja "lamad" yang mempunyai arti belajar, membiasakan. Kata ini tidak menekankan aspek intelektual (seperti yang terjadi di sekolah) tetapi lebih pada latihan dalam hal sikap atau kepandaian (kecakapan dalam bidang tertentu). Ini berarti bahwa kita bisa memelihara hati seorang hamba dalam diri kita kalau kita mau membiasakan dan melatihnya terus-menerus. Kalau dalam latihan itu kita menghadapi tantangan dan hambatan, maka kita bisa berkeluh kesah kepada Tuhan, menyampaikan apa yang kita alami kepadaNya. Dalam hal ini keterbukaan dan dialog dengan Tuhan, yang telah mengutus kita untuk menjadi hamba, dapat menjadi kekuatan bagi kita untuk tetap mempunyai hati seorang hamba. Ini bisa dilihat dalam Yes. 50: 4-9a dan Maz. 31: 10-14. Selain itu kita perlu sungguh-sungguh yakin dan percaya atas penugasan yang diberikan kepada kita dan percaya kepada Tuhan yang memberikan tugas itu. Kita diingatkan bahwa tumpuan kekuatan, kelegaan dan kelepasan adalah Tuhan sendiri (Maz. 31: 15,17).

Menjadi Hamba Tuhan memang tidaklah mudah seperti yang terungkap dalam Maz. 31: 10-13. Di tengah-tengah penderitaan yg dapat muncul sebagai konsekwensi dari kesetiaan yang kita lakukan ketika kita mempunyai hati seorang hamba, kita diajak untuk senantiasa yakin bahwa Tuhan Maha Adil dan kebenaran tidaklah akan pernah tersembunyi.

Di Minggu Palmarum ini kita diajak untuk memiliki hati seorang hamba, meneladan Dia, Tuhan kita Yesus Kristus, Sang Juru Selamat Dunia, amin.


MH