Diambil dari beberapa sumber kotbah dari dasar Firman Markus 8 : 27 - 38
Introitus
:
Tuhan Allah telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling
Kebelakang ( Yesaya 50:5 ).
Bacaan :
Yesaya 50:4-9; Khotbah : Markus 8:27-38
Thema :
Tandailah Yesus dingen ikutkenlah
(Kenalilah
Yesus dan ikutlah Dia)
Pendahuluan
Sebutir telur bias memiliki bermacam makna. Bagi seorang pengusaha,telur bisa
berarti sumber atau komoditas ekonomi. Bagi seorang seniman, ia dapat melihat
telur sebagai inspirasi bagi suatu karya seni. Bagi seorang telog, ia mungkin
melihat ada Tuhan di balik telur tersebut, dan seterusnya. Tentu semua itu
adalah benar sebab begitulah hakikat dan arti telur itu, tergantung dari mana
orang melihatnya. Inilah yang disebut paradigm,persepsi atau sudut pandang.
Stephen R. Covey, pakar Amerika yang
menulis bukuThe 7 Habits of Highly Effective People, mengatakan bahwa paradigma
merupakan sumber dari sikap dan perilaku kita. Kita masing-masing cenderung
berpikir bahwa kita melihat segala sesuatu sebagai mana adanya, bahwa kita
sudah objektif. Namun pada kenyataannya tidak demikian. Kita melihat duni bukan
sebagaimana dunia adanya, melainkan sebagaimana kita adanya, atau sebagaimana
kita terkondisikan untuk melihatnya.
Bila sudut pandang kita luas, maka
cakrawala kita pun luas. Bila cara pandang kita sempit, maka cakrawala kita pun
sempit. Bila kita hanya terpaku pada satu teori, maka kita mudah menolak teori
lainnya. Bila kita hanya setuju kepada satu opini, maka sulit bagi kita untuk
membuka ruang bagi opini yang lain.
Demikian juga halnya dengan
pengenalan kita terhadap Yesus, pengenalan yang benar mempengaruhi ketaatan
kita untuk mengikuti dan melakukan kehendak Nya. Sejauh apakah kini pengenalan
kita terhadap Yesus dan ketaatan kita dalam melakukan perintahNya ? Dari nats
khotbah Markus 8:27-38, menjadi perenungan bagi kita kepada pernyataan Yesus
tentang diriNya dan syarat-syarat mengikut Dia.
Pendalaman Nats
(ay.27-28) Ketika Yesus dan murid-muridNya berangkat ke Kaisarea Filipi,
kira-kira 40 km di sebelah utara danau Galilea, Yesus bertanya tentang siapakah
Dia menurut orang banyak. Ada yang mengatakan Yesus adalah Yohanes Pembabtis,
Elia dan seorang dari para nabi ( Markus 1:4,6:14-15;Lukas9:7-8 ). Menurut
mereka (pemahaman orang Yahudi), dengan kedatangan Yohanes Pembabtis,Elia dan
seorang dari para nabi,maka Mesias tidak lama lagi akan datang. Tokoh ini
dipercayai sebagai perintis jalan dan pembawa berita dari Mesias. Ia akan
memulihkan pelanggaran dan membawa keteraturan di tengah kekacauan untuk
menyiapkan jalan bagi Mesias. Menurut tanggapan orang banyak tersebut berarti
Yesus bukanlah mesias,dan masih tetap menunggu kedatangan mesias. Pengenalan
orang banyak tentang Yesus berarti keliru, dan hanya sebatas tanda mujijat
membuat mereka datang mencari dan mengikut Yesus.
(ay.29-30) Menurut Petrus, Yesus adalah Mesias. Petrus mengakui bahwa Yesus
adalah orang yang dipilih dan di urapi oleh Allah(Yoh.6:68-69). Kata “Mesias”berasal
dari kata Ibrani yang berarti “yang diurapi”. Sama artinya dengan Kristus dalam
bahasa Yunani” Christos”. Yang di urapi adalah para Imam(1 Taw.29:22), dan Nabi
(Yes.61:1), yang paling sering disebut di urapi adalah Raja (1
Sam.10:1,16:1,13; Mas.2:2,7). Yang di urapi adalah seseorang yang di pilih
untuk melayani Tuhan dan umatNya dan sebagai Raja, bertanggung jawab untuk
menegakkan keadilan dan damai Allah di dunia,yaitu menolong dan membebaskan
korban ketidak adilan, khususnya orang miskin.(Mas.18:35-49,72:1-3: 9:9-10).
Pengakuan Petrus akan Yesus adalah benar, sehingga dalam injil Matius, Petrus
di beri hadiah “kunci kerajaan sorga”(Mat.16:19), tapi dalam injil Markus,
Petrus dilarang untuk mengatakan kepada siapa pun bahwa Yesus adalah Mesias.
Yesus melarang para murid untuk mengatakannya, karena Yesus ingin agar orang
banyak mengetahuinya melalui pengalaman mereka sendiri. Dan secara umum,orang
banyak termasuk murid-murid juga di pengaruhi oleh gagasan-gagasan mesianik
yang ada dalam benak orang Yahudi pada zaman Yesus. Gagasan itu penuh kekerasan
dan semangat nasionalistik, sehingga Mesias itu di bayangkan sebagai seorang
raja yang berasal dari garis keturunan Daud sebagai sosok adikodrati yang hebat
yang masuk kedalam sejarah untuk menata kembali dunia dan kembali memulihkan
umat Allah.
(ay.31-33) Yesus mengajarkan pengertian Mesias yang berbeda dari pemahaman
orang banyak, bukan sebagai raja yang berkuasa, tapi sebagai anak manusia yang
harus menanggung banyak penderitaan, ditolak, dibunuh dan bankit pada hari yang
ketiga. Yesus sedang berbicara tentang penangkapan dan kematianNya di kayu
salib dan Allah yang membangkitkanNya dari kematian. Petrus dan para murid
tidak siap akan hal ini,mereka menginginkan seorang pemimpin yang akan membebaskan
mereka dari kesakitan, bukan seorang yang mengalami kesakitan dan kematian.
Petrus menarik dan menegor Yesus, kemudian Yesus berpaling serta memarahi
Petrus,”enyahlah iblis’’. Yesus menggunakan kata yang keras untuk menegaskan
bahwa menolak kehendak Allah merupakan pekerjaan iblis.
(ay.34-38) Menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus, artinya penurunan
tahta diri(keinginan,kehendak dan hawa nafsu manusiawi), agar hidup hanya
berpusat kepada Kristus. Dalam hubungan kita dengan Tuhan harus mengikutinya
dengan memasrahkan diri kepada Tuhan dan menerima konsekwensi dan menanggung
resiko terhadap penderitaan oleh karena panggilan sebagai murid atau orang
percaya.(Yoh.15:19,Gal.6:14). Dan Yesus mengatakan tentang kehilangan nyawa,
sebagai penyataan kesetiaan terhadap kehendak Allah, bukan perjuangan kepada
sifatnya sementara tapi kekekalan. Pengajaran tentang persyaratan mengikut
Yesus memang cukup keras dan tegas tapi hal itu bukan lah hal yang mustahil
bagi orang percaya sebab Yesus membuat perjanjian yang pasti tentang
kedatanganNya(8:38), dan kerajaanNya(9;1). Sekalipun penderitaan yang menanti
namun nubuat Mesianis tentang pemerintahanNya akan mewujudnyatakan kemenangan
keselamatan.
Pointer Aplikasi
- Pengenalan yang benar akan Yesus menentukan kesetiaan
seseorang dalam mengikut dan melakukan kehendakNya.
- Mengikut Yesus dan melakukan kehendaknya berarti
menyangkal diri dan memikul salib. Memberi diri untuk dibentuk, diubah
seturut dengan kehendakNya.( Band.Bacaan Yesaya 50:4-9, Ketaatan seorang
hamba Tuhan)
- Kapan dan dimana pun sebagai pengikut Yesus tidak ragu
dan tidak malu menderita demi kebenaran dan keadilan.
- Kuasa dan kasih Yesus adalah menjadi jaminan penyertaan
dan perlindungan bagi setiap orang yang melakukan panggilan Tuhan dalam
hidup dan pelayanannya.(1 Kor.15:58) : “Karena itu, saudara-saudaraku yang
kekasih, berdirilah tegu, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan
Tuhan ! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekuruan dengan Tuhan jerih
payahmu tidak sia-sia”
Runggun
GBKP Tambun
Pdt.Terima Tarigan
Title: KHOTBAH MINGGU, 13
SEPTEMBER 2009 (TEMA: "ENGKAU ADALAH MESIAS"
Post by: Pdt. Yohanes Bambang Mulyono on August 30, 2009, 08:40:37 AM
Renungan Minggu, 13 September 2009
Tahun B: Minggu Biasa XIX
Warna: Hijau
ENGKAU
ADALAH MESIAS
Ams. 1:20-33; Mzm. 116:1-9; Yak. 3:1-12; Mark. 8:27-38
Pengantar
Harapan akan kedatangan Mesias sebenarnya tersebar di berbagai pelosok
dunia. Di Jawa juga mengenal harapan akan datangnya sang Ratu Adil yang
dinyatakan dalam ramalan raja Jajabaya dari Kediri (tahun 1135-1157). Yang mana
sang Ratu Adil tersebut disebut oleh raja Jayabaya sebagai Satria Piningit.
Selain itu seorang tokoh pahlawan Indonesia yaitu Pangeran Diponegoro juga
pernah menganggap dirinya sebagai Ratu Adil. Dia menganggap mampu membebaskan
rakyat Jawa dari penjajahan Belanda. Bahkan Soekarno, presiden pertama
Indonesia waktu itu juga sering dianggap sebagai Ratu Adil. Namun ternyata
sejarah membuktikan bahwa mereka gagal untuk menjadi seorang Ratu Adil. Di
Israel, seorang rabi Yahudi yang sangat terkenal yakni rabi Akiba pernah
menganggap tokoh Simeon Bar Kokhba sebagai raja Mesias karena dia
memperlihatkan kemampuan yang hebat dalam melawan penjajahan Romawi pada tahun
132-135. Sampai kini umat Israel menolak Yesus Kristus sebagai Mesias. Alasan
mereka adalah bahwa seorang Mesias harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- Membangun Bait Allah yang ketiga (Yeh. 37:26-28)
- Mengumpulkan seluruh umat Yahudi dari seluruh pelosok dunia untuk kembali ke
tanah
Israel (Yes. 43:5-6)
- Penjaga suatu era dunia yang damai dan mengakhiri segala kebencian,
penindasan,
penderitaan dan penyakit (Yes. 2:4).
- Menyebarkan pengetahuan dan pengakuan akan Allah Israel yang menyatukan
seluruh umat
manusia dalam satu kesatuan (Zakh. 14:9).
Umat Yahudi masa kini beranggapan bahwa Yesus dari Nazaret tidak memenuhi
keempat syarat tersebut. Sebab semasa hidupNya Yesus tidak pernah mewujudkan
nubuat para nabi tersebut, seperti tidak pernah membangun Bait Allah,
mengumpulkan seluruh umat Yahudi yang terpencar ke berbagai pelosok bumi, belum
mewujudkan suatu kehidupan yang penuh damai dan menyebarkan pengakuan akan
Allah yang menyatukan seluruh umat manusia. Syarat-syarat Mesias tersebut bagi
orang-orang Yahudi harus terpenuhi pada saat seseorang yang dianggap Mesias
tersebut hidup. Jadi mereka berharap bahwa sewaktu Yesus hidup sebagai manusia,
Dia menunjukkan tanda-tanda tersebut. Jadi mereka menolak anggapan atau
pengajaran bahwa semua syarat tersebut akan terpenuhi kelak pada masa
kedatangan Yesus kembali pada akhir zaman. Kalau kita perhatikan dengan cermat,
maka penafsiran ayat yang dianggap sebagai nubuat untuk menentukan kriteria
seorang Mesias hanya dipahami dari sudut kepentingan nasionalisme Yahudi.
Misalnya seseorang akan disebut sebagai Mesias Allah jikalau Dia berhasil
membangun Bait Allah sebagai tempat berkumpulnya umat manusia dari segala
bangsa (Yes. 37:26-28). Seseorang akan disebut Mesias apabila Dia mampu
mengumpulkan umat Yahudi yang tercerai-berai dalam suatu negara yaitu untuk
memenuhi nubuat Yes. 43:5-6. Kemudian menurut tafsiran Yes. 2:4, seseorang akan
disebut Mesias apabila Dia mampu menjadi hakim bagi bangsa-bangsa sehingga
mampu meniadakan seluruh persenjataan yang pernah dibuat. Juga menurut Zakh.
14:9, seseorang disebut sebagai Mesias jikalau Dia mampu menjadikan Allah
sebagai satu-satunya Tuhan bagi seluruh umat manusia. Tepatnya menurut tafsiran
mereka, Zakh. 14:9 menyatakan bahwa Mesias Yesus seharusnya mampu meniadakan
setiap “allah” dari agama-agama yang ada. Sehingga jelaslah bahwa penafsiran
terhadap ayat-ayat Alkitab yang dianggap nubuat tersebut lebih
dilatar-belakangi oleh harapan messianis yang sempit dan eksklusif. Segala
sesuatu dari kriteria nubuat Alkitab tersebut hanya diarahkan kepada umat
Israel sebagai satu-satunya pusat dari seluruh tindakan sang Mesias. Padahal
Yesus Kristus mengarahkan karya keselamatanNya kepada seluruh umat manusia. Dia
tidak menjadikan umat Israel sebagai satu-satunya umat Allah. Demikian pula
halnya dengan makna pembangunan Bait Allah. Makna pembangunan Bait Allah
dihayati oleh Yesus tidak bersifat fisik, tetapi secara rohaniah yakni tubuhNya
sendiri.
Harapan Manusia Modern
Harapan manusia modern akan kehadiran seorang Messias pada masa kini tetap
hidup. Yang mana harapan tersebut tidak pernah lekang oleh waktu. Hal ini
disebabkan karena umat manusia pada masa kini berada dalam kesulitan yang
semakin kompleks. Persoalan, penderitaan dan tragedi kemanusiaan tidak dapat
diatasi oleh ilmu pengetahuan, medis, teknologi dan sistem negara. Manusia
modern membutuhkan kehadiran dan peran seorang Mesias. Tepatnya manusia modern
membutuhkan Juru-selamat. Karena itu beberapa waktu yang lalu muncul gambaran
mesianis dalam film “Superman”. Ide mesianis tersebut ditampilkan dalam diri
Christopher Reeve yang memerankan sebagai tokoh Superman. Film “Superman”
tahun 1978 tersebut disutradarai oleh Richard Donner. Yang mana tokoh Superman
memiliki nama Kal-El atau Clark Kent dan ayahnya bernama Jor-El yang
tinggal di planet Krypton. Dari penamaan para tokoh tersebut telah dapat diduga
bahwa nama “Kal-El” atau “Carl-El” menunjuk kepada diri Kristus. Sedang nama
“Jor-El” menunjuk kepada “Jahweh” (Tuhan). Perhatikan nama “El” yang menunjuk
kepada sebutan “Elohim” (Allah). Jor-El mengirim anak satu-satunya yaitu Kal-El
ke bumi untuk membawa misi keselamatan. Harapan mesianis manusia modern
pada masa kini ditampilkan melalui “Cinematic Theology”. Itu sebabnya Paul
Leggett dalam "Science Fiction Films: A Cast of Metaphysical
Characters." Christianity Today, 24(6), 32-33 tahun 1980 menyatakan: “Some
have seen the Superman image as a substitute, pop image messiah. Yet the value
of Superman is that he is a messianic symbol, as valid for our time as
Charlemagne or Sir Galahad were in the medieval period. The symbol doesn't
substitute as an alternate reality, but points to a greater reality, albeit one
it never fully expresses”. Demikian pula ide utama dalam film “Superman
Return” yang disutradarai oleh Bryan Singe pada tahun 2006. Kisah yang
difilmkan dalam “Superman Return” pada hakikatnya menunjuk kepada tokoh
Superman sebagai gambaran dari tokoh Kristus yang kembali berkarya. Namun
gambaran mesianis dalam tokoh Superman tersebut tentu tidak selalu tepat
mencerminkan maksud dari kesaksian Alkitab tentang diri Yesus sebagai Mesias
(Kristus). Sebab untuk memenuhi kepentingan pasar tidak terelakkan penggambaran
tokoh film dalam Superman sebagai diri Kristus dilibatkan dalam hubungan
romantisme dan menunjukkan berbagai kekuatan fisiknya yang luar-biasa.
Namun bukankah harapan mesianis umumnya selalu dikaitkan dengan tokoh atau
pemimpin yang memiliki kemampuan yang hebat, bentuk fisik yang sempurna, dan
mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia? Sangat menarik bahwa pada masa kini
juga muncul upaya untuk menemukan ke-Mesias-an Yesus yang dihubungkan dengan
tokoh tertentu. Misalnya mengaitkan tokoh Krishna sebagaimana dikisahkan dalam
Mahābhārata, Harivamsa, Bhagavata Purana dan Wishnu Purana dengan
diri Yesus dari Nazaret. Sebab selain nama mereka mirip (Krishna dan Kristus),
juga mereka dianggap lahir dari seorang perawan. Mereka memiliki misi yang sama
untuk membawa keselamatan bagi umat manusia. Yang mana keduanya bersifat ilahi.
Namun sekali lagi penggambaran Krishna dengan Yesus Kristus tersebut sering
mengabaikan perbedaan karakter dan pola yang sangat esensial. Tokoh
Krishna dalam menjalankan misi keselamatan terlibat dalam pemberian nasihat
yang menguatkan tindakan kekerasan saat terjadi perang Bharatayudha. Jadi
tidak dapat begitu mudah kita menyatakan bahwa Yesus Kristus identik atau
sebagai inkarnasi dari Krishna. Itu sebabnya Mahatma Gandhi menyampaikan
pandangannya tentang Bhagavad Gita: “Untie any spiritual knot” (melonggarkan
setiap simpul spiritual). Sebab kisah dalam Bhagavad Gita menampilkan berbagai
kekerasan. Gandhi menyatakan: “The Gita affords violence a sort of mythic
grandeur, obscuring the ugly realities of blood and gore with ethereal prose
and metaphysical justifications”. Bukankah pada masa kini gambaran dan harapan
tentang tokoh mesias tidak terlepas dari pola pikir yang duniawi, yaitu
penyelesaian masalah dan penegakan keadilan dengan konsep dan pola-pola
kekerasan yang dilegitimasi dengan “wahyu Allah” dan ayat-ayat Kitab Suci?
Ke-Mesias-an Yesus Karena MukjizatNya?
Struktur narasi Injil Markus sebelum mengisahkan pengakuan Petrus akan
ke-Mesias-an Yesus di Mark. 8:27-30 dilatar-belakangi oleh berbagai
perbuatan mukjizatNya. Misalnya Mark. 6:30-44 mengisahkan Yesus memberi makan
5000 orang. Mark. 6:45-52 mengisahkan Yesus berjalan di atas air. Mark. 6:53-56
mengisahkan Yesus menyembuhkan orang-orang sakit di Genesaret. Mark. 7:31-37
mengisahkan Yesus menyembuhkan seorang tuli. Mark. 8:1-10 mengisahkan Yesus
memberi makan 4000 orang. Mark. 8:22-26 mengisahkan Yesus menyembuhkan seorang
buta di Betsaida. Namun saat para murid Yesus tiba di Kaisarea Filipi, Yesus
mengajukan pertanyaan kepada para muridNya, yaitu: “Kata orang, siapakah Aku
ini?” (Mark. 8:27). Pertanyaan Tuhan Yesus tersebut sepertinya suatu ajakan
bagi para murid untuk merenungkan kembali seluruh karya keselamatan yang telah
dinyatakanNya melalui berbagai perbuatan mukjizat. Karya-karya mukjizat Yesus
terbukti mampu memulihkan setiap orang yang sakit, kuasaNya yang luar-biasa
atas alam dan penggandaan roti bagi orang banyak. Tetapi bagaimana tanggapan
orang banyak terhadap diri Yesus? Ternyata orang banyak menganggap Yesus
Kristus hanya sebagai inkarnasi dari Yohanes Pembaptis yang telah mati
dipancung oleh raja Herodes. Atau Yesus juga dianggap sebagai seorang
nabi Allah yang muncul dalam kehidupan mereka secara luar-biasa. Dengan
perkataan lain, berbagai perbuatan mukjizat yang telah dilakukan oleh Yesus
hanya dianggap oleh orang banyak sebagai tanda-tanda ilahi yang menyertai
kehidupan seorang nabi Allah. Walaupun perbuatan mukjizat Yesus sangat
spektakuler, namun orang banyak waktu itu menggolongkan diri Yesus sebagaimana
yang pernah dilakukan oleh nabi Elia atau nabi Elisa. Kekaguman orang
banyak terhadap diri Yesus hanyalah sebatas kekaguman kepada seorang nabi Allah
yang penuh kuasa.
Dari kesaksian Injil Markus tersebut terbukti bahwa perbuatan mukjizat tidaklah
cukup membawa seseorang kepada sikap iman. Karena itu tidaklah benar secara
teologis, kita menempatkan tanda-tanda mukjizat yang sifatnya serba spektakuler
dalam proses pembangunan jemaat atau pembentukan karakter iman. Sejauh
perbuatan suatu mukjizat belum menyentuh kehidupan pribadi seseorang yang
paling dalam, maka perbuatan mukjizat tersebut hanya menimbulkan perasaan kagum
belaka. Bahkan seandainya perbuatan mukjizat tersebut berhasil menyentuh
kehidupan pribadi seseorang juga tidak menjamin bahwa dia mengalami pertobatan
untuk mengakui ke-Tuhan-an Kristus dalam seluruh aspek kehidupannya. Bukankah
benar apa yang diajarkan oleh gereja bahwa sikap iman kepada Kristus pada
hakikatnya tidak tergantung karena pengalaman menerima mukjizat. Iman
yang murni dan dianugerahkan oleh Allah lahir dari pengalaman berjumpa dengan
Allah, bukan karena faktor mukjizat. Mungkin bisa terjadi seseorang mengalami
beberapa pengalaman mukjizat, tetapi seluruh pengalaman tersebut tidak dihayati
sebagai perjumpaannya dengan Kristus. Namun orang-orang Kristen yang hidup
secara duniawi sering mengabaikan makna perjumpaan dengan Tuhan Yesus. Sebab
yang diutamakan oleh orang-orang dunia adalah hasil-hasil yang menguntungkan
seperti: kesehatan, kesejahteraan materi dan kehidupan yang bebas dari
persoalan. Padahal yang dikehendaki oleh Allah adalah perubahan sikap hidup
atau pembaharuan hidup di dalam Kristus, sehingga mereka mampu menyikapi dan
menyelesaikan setiap persoalan dari sudut pandang Allah.
Ke-Mesias-an Yesus Yang Bebas Dari Derita?
Di lubuk hati umat Israel sepanjang masa makna kehadiran seorang Mesias Allah
tidak pernah lepas dari peran politisnya. Pemahaman ini dilatar-belakangi oleh
situasi umat Israel yang senantiasa berada dalam penderitaan dan tekanan hidup
dari para penjajahan bangsa asing. Itu sebabnya saat kerajaan Romawi menguasai
mereka, berulangkali muncul orang-orang yang dianggap sebagai Mesias untuk
membebaskan dari penindasan kerajaan Romawi. Umat Israel selalu mengharapkan
kedatangan seorang Mesias Allah yang tangguh, tidak terkalahkan, agung dan
mampu membawa mereka kepada kesejahteraan yang paripurna. Dengan demikian
harapan mesianis umat Israel secara politis pada zaman itu merupakan harapan
yang kontekstual. Sehingga manakala mereka menyaksikan betapa besar kuasa Yesus
dalam membuat berbagai mukjizat, mereka segera memiliki harapan yang begitu
besar kepada Yesus. Mereka mengharapkan Yesus dari Nazaret mampu membebaskan
mereka dari belenggu penjajahan bangsa Romawi dan membawa kesejahteraan umat
Israel dengan kuasaNya yang mampu menaklukkan alam dan menggandakan roti.
Harapan tersebut juga tertanam dalam diri para murid Yesus. Namun bagai petir
di siang hari, mereka terkejut saat Yesus menyatakan: “Anak Manusia harus
menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan
ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari” (Mark. 8:31).
Mereka yang semula begitu terobsesi dan kagum dengan segala kuasa mukjizat
Yesus, kini mereka mendengar suatu pernyataan yang jauh dari harapan dan
kerinduan mereka. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau Petrus segera
memberi reaksi dengan menarik Yesus ke samping dan menegor Dia (Mark. 8:32).
Sebab konsep mesianis yang mereka pahami adalah Mesias seperti Yesus tidak
boleh sedikitpun menderita, ditolak oleh para pemimpin agama dan mati terbunuh.
Kematian seorang yang dianggap Mesias akan membawa dampak yang begitu buruk
dalam kehidupan umat Israel.
Namun sikap Petrus yang mewakili sikap para murid dan umat Israel pada umumnya
justru dianggap oleh Yesus sebagai pola pikir dari Iblis. Di Mark. 8:33, Tuhan
Yesus menegor Petrus, demikian: "Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan
memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan
manusia". Dengan pernyataan tersebut, Tuhan Yesus mau menyatakan bahwa
konsep mesianis mereka tidak sejalan dengan rencana dan pola pikir Allah.
Tentunya Allah sangat memahami penderitaan mereka yang saat itu dijajah dan
ditindas oleh bangsa Romawi. Tetapi penyelesaiannya bukanlah dengan perang dan
tindakan kekerasan. Sepertinya umat Israel telah melupakan pola kerja Allah
yang pernah membebaskan dari cengkeraman bangsa Mesir. Mereka keluar dari Mesir
bukan karena mereka mampu menaklukan tentara dan kekuasaan Firaun dengan
perang, tetapi melalui tangan Allah yang kuat. Umat Israel dapat tetap
eksis sebagai bangsa bukan karena kekuatan dan kepandaian mereka. Di Ul.
9:4 Allah berfirman: “Janganlah engkau berkata dalam hatimu, apabila TUHAN,
Allahmu, telah mengusir mereka dari hadapanmu: Karena jasa-jasakulah TUHAN
membawa aku masuk menduduki negeri ini; padahal karena kefasikan bangsa-bangsa
itulah TUHAN menghalau mereka dari hadapanmu”. Selain itu penyelesaian suatu penindasan
dan penderitaan tidak pernah dapat diatasi dengan kekerasan dan perang. Sebab
penyelesaian dengan kekerasan dan perang senantiasa melahirkan kekerasan yang
baru dan perang yang lebih luas lagi. Pada waktu pemberontakan Bar Khoba pada
tahun 132-135 terhadap kerajaan Romawi diperkirakan penduduk Israel yang mati
mencapai jutaan orang, Bait Allah dihancurkan secara total, sebagian menjadi
budak dan mereka yang selamat harus terpencar ke seluruh penjuru bumi.
Pemberontakan Bar Khoba sungguh berakhir tragis. Karena sejak itu umat
Israel kehilangan seluruh tanah dengan masa depan yang suram. Mereka menjadi
Israel “diaspora” selama hampir 2 milenium!
Namun betapa sering dalam menghadapi berbagai persoalan hidup sehari-hari, kita
cenderung menggunakan kekerasan. Penderitaan yang dialami dibalas dengan
membuat orang lain lebih menderita. Sakit hati dibalas dengan menebar teror.
Kelicikan dibalas dengan kelicikan. Orang-orang yang berbeda pendapat
dianggap sebagai musuh. Apabila dia tidak mampu membalas, maka dia akan
menghalalkan segala macam cara. Kalau perlu orang-orang yang demikian akan
menggunakan tangan orang lain untuk menganiaya dan membunuh, atau juga dengan
menghalalkan penggunaan ilmu “black-magic”. Hukum “mata ganti mata” dianggap
sebagai penegakan keadilan dan kebenaran. Yang mana konsep tersebut kini justru
dipraktekkan oleh orang-orang yang merasa dirinya beragama. Semakin
banyak orang yang dianggap kafir mati terbunuh, maka semakin besar pahalanya di
surga. Konsep teologis tersebut telah menempatkan agama sebagai musuh
kemanusiaan. Padahal siapapun yang menjadi musuh kemanusiaan, dia telah menjadi
musuh Allah. Kini yang diperlukan umat manusia bukan sekedar pernyataan dan
ajaran agama yang serba saleh, tetapi bukti. Umat manusia tidak lagi peduli dan
mempercayai ayat-ayat Kitab Suci yang dianggap telah diwahyukan Allah apabila
ternyata hanya membawa kesengsaraan dan kekejaman.
Ke-Mesias-an Yesus Sebagai Penyata Kasih
Ungkapan yang paling tepat untuk memahami ke-Mesias-an Yesus adalah konsep
kemesiasan yang lahir dari penyataan Allah. Tolok ukur keMesiasan Yesus adalah
dia bersedia untuk melakukan kehendak Allah melalui jalan pendamaian dan kasih.
Untuk itu jalan yang Kristus tempuh adalah melalui penderitaan dan kematianNya
sebagai kurban pendamaian bagi banyak orang. Kristus memahami diriNya sebagai
Mesias Allah dengan jalan memberikan hidupNya. Konsep mesianis inilah
yang membedakan secara signifikan dengan konsep dan pola mesianis dari kuasa
dunia. Sebab konsep mesianis dari kuasa dunia adalah halal menggunakan atau
memanfaatkan orang lain sebagai korban. Keselamatan dan kesejahteraan umat
dibangun di atas penderitaan orang lain. Mereka “menebus dosa” dengan jalan
mencabut sebanyak mungkin nyawa orang lain yang dianggap musuh Allah atau kafir.
Dengan demikian konsep mesianis secara duniawi selalu bersifat politis,
ekonomis, ideologis dan menghalalkan kekerasan. Namun ironisnya para “mesias”
tersebut selalu menyatakan bahwa tujuan dan misi mereka pada hakikatnya untuk
membawa damai, mendatangkan rahmat, menghadirkan keadilan dan kesejaheraan bagi
seluruh umat manusia. Mereka mencapai tujuan yang tampaknya suci dan benar
dengan menghalalkan segala cara. Padahal esensi yang hakiki dari citra seorang
Mesias Allah justru caraNya, yaitu jalan hidupNya yang suci dan benar. Karena
hampir semua tokoh dunia yang jahat dan kejam juga mempunyai misi yang
dianggapnya mulia. Mereka selalu menyatakan bahwa tindakan dan keputusan yang
ditempuhnya bertujuan untuk kebaikan umat. Hitler juga merasa mempunyai tujuan
dan misi yang mulia yaitu mengangkat Jerman sebagai bangsa Arya dengan
cara/jalan membantai 6 juta orang Yahudi.
Ciri kepribadian seorang Mesias Allah dinyatakan melalui jalan hidupNya; bukan
melalui pengajaran, doktrin atau ideologi rohaniah yang serba saleh. Sebab
kepribadian seorang Mesias dinyatakan melalui cara yang ditempuh atau jalan
hidupNya. Melalui cara atau jalan hidup yang ditempuhnya telah tergambar
bagaimana seluruh visi dan misinya yang paling utama. Karena itu jalan hidup
yang telah ditempuh oleh Yesus telah menggambarkan seluruh hakikat pengajaran
dan perbuatan kasihNya. Dengan demikian teologia dan etika iman Kristen bukan
dibangun di atas dasar pengajaran dan perbuatan mukjizat Yesus. Tetapi teologia
dan iman Kristen dibangun di atas dasar kehidupan Yesus Kristus yang suci
dengan pengajaran dan perbuatan mukjizatNya. Seandainya kehidupan Yesus pernah
bercela, maka seluruh pengajaran dan perbuatan mukjizatNya tidak berarti
apa-apa bagi gereja dan umat manusia. Dengan demikian keotentikan keMesiasan
Yesus ditentukan oleh kualitas hidupNya, yaitu pola kehidupanNya yang suci
tanpa cela. Sehingga dengan kesucian hidup Kristus yang begitu sempurna
telah tergambar bagaimana hubungan dan kedudukan Dia secara khusus sebagai Anak
Allah yang penuh kuasa. Itu sebabnya melalui kehidupan dan karya Kristus, kita
dimampukan untuk melihat kehadiran dan pekerjaan Allah yang menyelamatkan dalam
kehidupan umat manusia. Jika demikian, makna pengakuan iman kita kepada Yesus
selaku Mesias seharusnya dinyatakan pula melalui jalan hidup kita. Apakah jalan
hidup kita telah mengikuti pola jalan hidup Kristus?
Yang dikehendaki Kristus bagi setiap umat yang percaya kepadaNya adalah umat
yang mampu membuktikan wujud dari jalan hidupNya yaitu kasih yang bersedia
berkurban. Dalam hal ini Kristus tidak menghendaki kita menjadi para “pekabar
Injil” yang sangat misioner dan berapi-api tetapi jalan hidup kita penuh dengan
cela dan kelicikan. Berita Injil yang kita kabarkan haruslah menjadi
suri-tauladan dan pola karakter dalam setiap aspek kehidupan kita. Rasul
Yakobus berkata: “Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak
bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga
mengendalikan seluruh tubuhnya” (Yak. 3:2). Jadi melalui kehidupan dan
perkataan kita yang tidak bercela, sesama dapat menyaksikan kehidupan dan karya
Kristus yang menyelamatkan dan mendatangkan damai-sejahtera. Dengan pemahaman
demikian, kita perlu segera menghentikan segala pola pengakuan iman yang
verbalistis tetapi tidak dapat diwujudkan dalam perilaku yang nyata. Apa yang
kita katakan haruslah lahir dari apa yang kita hayati dan imani dalam mengikuti
Kristus sebagai satu-satunya jalan hidup kita.
Panggilan
Sebagaimana Kristus hidup, demikianlah kita hidup. Sebagaimana yang telah
Kristus katakan, demikian pula seharusnya isi dan kualitas perkataan dan
pemikiran kita. Sebab apa yang kita katakan pada hakikatnya merupakan produk
atau pancaran dari apa yang kita pikirkan dan isi spiritualitas kita. Rasul Yakobus
berkata: “Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita
mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu
keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian
terjadi” (Yak. 3:9-10). Jika demikian, bagaimanakah isi dan kualitas perkataan
atau pemikiran-pemikiran kita dalam kehidupan sehari-hari? Apakah yang kita
katakan atau nyatakan merupakan konsep dan pola pikir mesianis-duniawi yang
mengandalkan kekuatan diri sendiri, sikap yang sombong dan perilaku yang gemar
mengorbankan orang lain? Jika sikap itu menjadi bagian dari hidup saudara, maka
seluruh pengakuan iman saudara kepada Kristus menjadi tidak berarti apa-apa.
Bahkan saudara telah menista keMesiasan Yesus Kristus selaku Juru-selamat dunia.
Ataukah sebaliknya: apa yang kita katakan dan lakukan kepada sesama merupakan
manifestasi dari karakter dan roh dari Kristus. Bagaimana sikap saudara saat
ini? Amin.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
www.yohanesbm.com
Diambil dari bacaan AIR HIDUP RENUNGAN HARIAN, EDISI 9 April 2008
–
Baca: Markus 8:31-38
“Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku di
tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusiapun akan
malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya,
diiringi malaikat-malaikat kudus.” Markus 8:38
Sebagai orang Kristen, kita memiliki tanggung jawab untuk menjadi terang dan
garam dunia. Di mana pun berada ktia harus menjadi saksi hidup bagi Tuhan untuk
menyaksikan kasih dan kemuliannNya bagi keselamatan dan pemulihan hidup manusia
melalui pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu salib. Tetapi, tidak semua orang
menyambut berita damai itu dengan sukacita, sebaliknya sebagian besar orang
tidak mengakui anugerah keselamatan di dalam Yesus, mereka bersikap sinis dan
benci mendengarnya. Bahkan salib seringkali menjadi bahan ejekan dan olokan.
Mereka meremehkan dan mencemooh para pemberita kabar keselamatan, tidak sedikit
utusanNya yang menjadi korban aniaya karena salib tersebut!
Hal ini membawa dampak bagi orang-orang Kristen yang kurang memahami arti
keselamatan yang telah dianugerahkan Allah baginya. Banyak anak Tuhan yang
tidak tahan dengan kritikan dan ejekan, sehingga jangankan bersaksi tentang
Kristus, membuka jati dirinya sebagai Kristen saja enggan dan malu. Mereka
lebih suka menutup berita ini daripada mendapat malu, dibenci dan dikucilkan
oleh keluarga, saudara, teman mau pun tetangga. Banyak yang kuatir kehilangan
jabatan atau reputasi bila menyebut dirinya adalah pengikut Kristus; apalagi yang
sudah menjadi
public figure, rasa-rasanya nama Yesus menjadi
penghalang bagi kemajuan karirnya, sehingga mereka takut mengakui Yesus Kristus
di antara teman-teman seprofesinya.
Hanya orang-orang Kristen yang dipimpin Roh Kudus dan tahu berterima kasih yang
tahan terhadap olokan dan sindiran, sebab umumnya orang tidak suka dicela atau
dikritik apalagi jika merasa tidak bersalah. Seharusnya kita tidak malu
bersakti tentang Kristus karena firman Tuhan berkata,
“Berbahagialah kamu,
jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada
padamu.” (1 Petrus 4:14)
Bila kita malu menyaksikan nama Kristus di tengah dunia, maka Dia
pun akan malu mengakui kita di hadapan Bapa di sorga!